Wisata Laut RI, Direktur Infrastruktur PT Perikanan Indonesia (Perindo) – Muhammad Rizali Umarella menyoroti langsung realitas bisnis wisata laut Indonesia yang selama ini masih didominasi oleh pengusaha besar. Padahal, laut memiliki karakter yang tak selalu ramah untuk investasi jangka panjang tanpa strategi adaptif.
Terkuak! Bisnis Wisata Laut RI Banyak Dikuasai Pengusaha Besar – Namun kondisi ini justru melahirkan inovasi dari warga lokal sendiri. Rizali pun mencontohkan bagaimana masyarakat nelayan di masa lalu menjemput ikan dari perahu besar menggunakan sampan kecil, karena dulu belum ada pelabuhan. Pola lama ini kini dimodifikasi jadi gagasan baru yang membuka peluang bisnis yang lebih inklusif.
Terkuak! Bisnis Wisata Laut RI Banyak Dikuasai Pengusaha Besar
Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai sepanjang 95.000 km, dikenal sebagai salah satu surga wisata laut dunia. Namun di balik keelokan pantai dan kekayaan bawah lautnya, tersimpan realita yang kerap luput dari perhatian publik: bisnis wisata laut di Indonesia banyak dikuasai oleh segelintir pengusaha besar.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan: Apakah dominasi ini berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi daerah, atau justru menimbulkan ketimpangan dalam pemanfaatan sumber daya laut?
Dominasi Pengusaha Besar dalam Industri Wisata Laut
Bisnis wisata laut mencakup berbagai sektor seperti:
-
Resort pantai dan pulau privat
-
Aktivitas diving dan snorkeling
-
Wisata kapal pesiar dan liveaboard
-
Restoran dan akomodasi di kawasan pesisir
-
Tiket masuk kawasan konservasi bahari
Dalam praktiknya, akses terhadap modal besar dan perizinan eksklusif membuat para pengusaha besar lebih mudah masuk dan menguasai sektor-sektor tersebut.
Contoh Kasus: Kepulauan Seribu dan Labuan Bajo
Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur
Destinasi wisata premium ini kini banyak dikelola oleh konsorsium swasta dan investor besar. Resort-resort mewah tumbuh di atas lahan pesisir, sementara masyarakat lokal hanya kebagian peran sebagai pekerja informal.
Kepulauan Seribu, Jakarta
Sejumlah pulau dikelola secara privat oleh korporasi besar. Pulau-pulau tersebut tidak lagi bebas diakses publik, bahkan dalam beberapa kasus, masyarakat lokal dilarang melaut di sekitar perairan tersebut.
Mengapa Pengusaha Besar Mendominasi?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dominasi ini:
Akses Modal yang Besar
Membangun infrastruktur wisata laut seperti dermaga, resort, dan kapal membutuhkan investasi besar. Pengusaha besar memiliki akses ke pinjaman bank, investor, atau dana asing.
Kemudahan Perizinan dan Lobi Politik
Banyak dari pengusaha besar memiliki koneksi politik atau kemampuan untuk melobi pemerintah lokal maupun pusat agar mendapatkan hak pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Branding dan Akses Pasar Global
Mereka juga memiliki kemampuan untuk memasarkan destinasi secara internasional, bekerja sama dengan platform travel global, dan membentuk paket wisata eksklusif.
Dampak bagi Masyarakat Lokal
Positif:
- Meningkatnya pendapatan daerah
- Tersedianya lapangan kerja di sektor pariwisata
- Peningkatan infrastruktur umum (jalan, listrik, pelabuhan)
Negatif:
- Marginalisasi masyarakat adat pesisir
Banyak komunitas nelayan atau warga lokal kehilangan akses atas laut atau pantai yang telah “dijual” kepada swasta. - Gentrifikasi wilayah pesisir
Harga tanah dan kebutuhan hidup di sekitar kawasan wisata melonjak, menyulitkan masyarakat lokal untuk bertahan. - Ketimpangan distribusi keuntungan
Sebagian besar keuntungan dinikmati investor dan pemilik modal, sementara masyarakat lokal hanya mendapatkan sedikit manfaat ekonomi.
Kebijakan Pemerintah: Masih Kurang Tegas
Pemerintah sebenarnya memiliki perangkat hukum untuk mengatur tata kelola wilayah pesisir, seperti:
-
UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
-
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 23 Tahun 2021 tentang Kawasan Konservasi
Namun, pengawasan terhadap pelaksanaan regulasi ini masih lemah. Masih banyak pelanggaran seperti pembangunan di zona konservasi, penguasaan lahan tanpa partisipasi masyarakat, hingga pencemaran lingkungan oleh kegiatan wisata.
Solusi: Menata Ulang Model Bisnis Wisata Laut
Untuk menciptakan wisata laut yang inklusif dan berkelanjutan, diperlukan langkah-langkah nyata, di antaranya:
1. Mengembangkan Usaha Wisata Rakyat (Community-Based Tourism)
-
Pemerintah daerah perlu mendukung koperasi nelayan dan BUMDes untuk mengelola objek wisata secara mandiri.
-
Pelatihan tentang hospitality, ekowisata, dan pemasaran digital sangat dibutuhkan masyarakat lokal.
Mewajibkan Skema Kemitraan
-
Investor swasta diwajibkan untuk bermitra dengan komunitas lokal dalam bentuk penyertaan saham, pemberdayaan tenaga kerja, atau pembagian hasil.
Transparansi dan Audit Sosial
-
Setiap pemberian izin pemanfaatan ruang pesisir harus melewati proses konsultasi publik.
-
Perlu dibentuk lembaga pengawas independen untuk memantau implementasi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Pemanfaatan Teknologi untuk Pemetaan Akses Publik
-
Dengan teknologi GIS dan sistem informasi geospasial, pemerintah bisa membuat peta akses publik dan zona larangan privatisasi, agar masyarakat tahu wilayah mana yang bisa dimanfaatkan bersama.
Data Pendukung dan Fakta Terkini
-
Menurut data BPS 2023, sektor pariwisata bahari menyumbang sekitar Rp 120 triliun terhadap PDB nasional.
-
Namun, hanya 12% desa pesisir yang memiliki usaha wisata yang dikelola masyarakat setempat.
-
Dari 111 pulau kecil yang dikelola secara privat di Indonesia, mayoritas dikendalikan oleh perusahaan nasional dan asing, berdasarkan laporan WALHI (2022).
Kesimpulan
Dominasi pengusaha besar dalam bisnis wisata laut Indonesia memang mendatangkan investasi dan kemajuan infrastruktur. Namun jika tidak diatur dengan tepat, hal ini dapat menimbulkan eksklusi sosial, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan ekonomi.
https://frinterprovincial.com/