Otomotif China, Kekhawatiran mendalam mulai mencuat di kalangan pelaku industri otomotif China, bukan dari pesaing global, melainkan dari dalam negeri sendiri. Di sebuah pasar mobil bekas di Beijing, Ma Hui, seorang penjual mobil, mengaku makin cemas dengan kondisi industri kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di negaranya. Ia menyebut persaingan antarprodusen kini berubah menjadi “balapan menuju jurang” yang membahayakan masa depan sektor tersebut.
Industri otomotif China, yang pernah menjadi pilar kebangkitan ekonomi digital dan teknologi hijau, kini menghadapi krisis multidimensional. Dari produsen mobil listrik (EV) hingga pabrikan kendaraan konvensional, tekanan finansial, persaingan harga yang merugikan, dan ketidakpastian kebijakan telah mengarah pada situasi yang semakin genting. Beberapa merek ternama bahkan telah terpaksa gulung tikar.
Krisis Finansial dan Kebangkrutan Produsen Otomotif
Beberapa produsen otomotif China terpaksa menutup operasional mereka akibat krisis finansial yang mendalam:
-
WM Motor (Weltmeister): Pada Oktober 2023, perusahaan ini mengajukan kebangkrutan setelah gagal membayar utang dan menghadapi stagnasi pasar. Seluruh model mobilnya dihentikan, dan layanan purna jual terhenti .
-
Qiantu Motor: Pada Januari 2025, perusahaan ini dinyatakan bangkrut oleh Pengadilan Tinggi Suzhou setelah gagal membayar utang sebesar 72 juta RMB dan tidak memiliki aset yang cukup untuk menutupi kewajibannya .
-
Hozon Auto (Neta): Mengalami krisis likuiditas serius pada akhir 2024, dengan utang yang menumpuk dan penarikan dukungan finansial dari bank. Perusahaan ini bahkan mengusulkan konversi 70% utangnya menjadi saham perusahaan induk untuk bertahan hidup .
Kebangkrutan ini mencerminkan kerentanannya ekosistem otomotif China, yang semakin terfragmentasi dan rentan terhadap guncangan finansial.
Perang Harga yang Merugikan dan Penurunan Margin Keuntungan
Sejak 2022, produsen otomotif China terjebak dalam perang harga yang merugikan, dimulai oleh Tesla dan BYD. Merek seperti Xiaomi dan SAIC juga ikut menurunkan harga secara agresif untuk menarik konsumen. Akibatnya, margin keuntungan semakin tipis, bahkan untuk pemain besar seperti BYD yang hanya memiliki margin laba sekitar 5% .
Menurut People’s Daily, perang harga ini tidak hanya merugikan produsen, tetapi juga menghambat investasi dalam riset dan pengembangan, serta dapat menyebabkan masalah keselamatan karena penurunan kualitas produksi .
Dampak Deflasi dan Penurunan Permintaan
China kini menghadapi deflasi yang mendalam, dengan penurunan daya beli konsumen dan meningkatnya persaingan di pasar barang bekas. Produk mewah, termasuk tas Coach, dijual dengan diskon hingga 90% di platform seperti Super Zhuanzhuan dan Xianyu. Hal ini menciptakan tekanan tambahan pada pasar otomotif, di mana konsumen semakin sensitif terhadap harga dan memilih untuk membeli kendaraan bekas daripada baru .
Tantangan Ekspor dan Regulasi Global
Pertumbuhan ekspor kendaraan China diperkirakan akan melambat pada 2025, dengan proyeksi kenaikan hanya sekitar 5,8%, turun dari 19,3% pada 2024. Hal ini disebabkan oleh regulasi emisi yang lebih ketat di berbagai negara dan ketidakpastian ekonomi global .
Selain itu, pembatasan ekspor bahan baku langka oleh China, seperti magnet langka yang penting untuk motor listrik, telah memicu kekhawatiran di kalangan produsen mobil global. Perusahaan seperti BMW, Mercedes-Benz, dan Ford terpaksa menyesuaikan rantai pasokan mereka untuk mengatasi kelangkaan ini .
Perusahaan yang Bertahan: Fokus pada Kualitas dan Inovasi
Di tengah krisis ini, beberapa perusahaan berusaha bertahan dengan fokus pada kualitas dan inovasi:
- BYD: Meskipun menghadapi tekanan harga, BYD tetap menjadi pemimpin pasar EV di China dengan penjualan lebih dari 4,3 juta unit pada 2024. Namun, pertumbuhannya diperkirakan melambat pada 2025 .
- Tesla: Meskipun menghadapi penurunan penjualan di China, Tesla tetap fokus pada peluncuran layanan robotaxi dan ekspansi produk untuk mempertahankan posisinya di pasar .
- Aiways: Setelah hampir bangkrut pada 2024, Aiways memutuskan untuk keluar dari pasar domestik China dan fokus pada ekspansi di pasar Eropa, serta merencanakan pencatatan saham di Nasdaq untuk mendapatkan pendanaan .
Prospek Masa Depan: Menuju Konsolidasi dan Fokus pada Inovasi
Industri otomotif China diperkirakan akan mengalami konsolidasi pada 2025. Dengan pemain besar seperti BYD dan Tesla bertahan, sementara perusahaan kecil dan menengah menghadapi kesulitan. Fokus akan beralih dari volume penjualan ke kualitas produk, inovasi teknologi, dan efisiensi operasional. Pemerintah diharapkan akan memperkenalkan kebijakan yang lebih mendukung untuk mendorong transformasi industri menuju kendaraan listrik dan teknologi hijau.
Kesimpulan
Industri otomotif China kini berada di titik kritis. Persaingan ekstrem antar produsen mobil listrik China menyebabkan perang harga yang tak terkendali dan menekan margin keuntungan. Tanpa strategi jangka panjang yang berkelanjutan, pasar otomotif China justru berisiko mengalami krisis besar. Untuk bertahan, produsen otomotif China perlu fokus pada inovasi, kualitas produk, dan ekspansi global yang terencana. Jika tidak, “balapan menuju jurang” ini bisa menjadi kenyataan yang pahit bagi industri otomotif terbesar di dunia.
